SEMARANG – Dosen Program Studi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro (SV Undip), Mohamad Endy Julianto, kembali mencatatkan prestasi dengan meraih penghargaan dari Universitas Diponegoro sebagai penerima Paten Granted terbanyak kedua.
Menurut Endy, penghargaan ini diberikan kepada dosen yang berhasil meraih Paten Granted dan Hak Cipta pada Undip Tahun 2024 sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi dan kontribusi kinerja mereka. Penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi dan mendorong para dosen Undip untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan, dengan salah satu indikator kinerja dosen yang diukur melalui pencapaian Kekayaan Intelektual (KI) yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Endy menjelaskan kepada media pada Rabu (15/1/2025) bahwa penelitian tersebut dilakukan bersama tim peneliti, yakni Hermawan Dwi Ariyanto, ST, M.Sc, Ph.D, Dr. Indah Hartati, Didik Ariwibowo, ST, MT, serta melibatkan mahasiswa Elsan Febiyanti, Nurika Nazilatul Ilmi, Deas Oky Pratama, dan Nadya Fitria Azzahra. Penelitian ini didanai oleh LPDP dan termasuk dalam Program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan fokus pada inovasi produksi teh hijau bebas kafein.
“Judul risetnya berupa ‘Pengembangan Proses Biotermokimia Gelombang Mikro untuk Produksi Nanopolifenol Teh Hijau Bebas Kafein yang Termodifikasi Kolagen’,” jelas Endy. “Harapannya hasil penelitian ini akan segera di komersialiasi bersama mitra industry PPTK Gambung yaitu teh hijau premium bebas kafein yang kompetitif.” Lanjutnya.
Endy menjelaskan lebih lanjut bahwa penelitian ini dilatarbelakangi oleh manfaat teh hijau yang mengandung berbagai senyawa aktif yang berkhasiat untuk kesehatan, seperti antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antiproliferatif, antihipertensi, antiobesitas, serta berbagai fungsi farmakologis lainnya. Sebagian besar efek terapeutik dan kemopreventif dari teh hijau ini disebabkan oleh kandungan polifenol aktif seperti catechin, epicatechin, epigallo catechin, epicatechin gallate, epigallo catechin gallate, dan asam gallat.
Sifat farmakologi polifenol teh hijau yang luas ini mendorong penggunaannya dalam berbagai produk pangan, seperti roti, biskuit, donat, cookies, bakpia, puding, bakpao, es krim, keju, dan produk pangan fungsional lainnya. Namun, Endy menambahkan bahwa industri pangan membutuhkan teh hijau bebas kafein dengan kandungan kesehatan yang sangat tinggi.
“Oleh karenanya, dibutuhkan proses untuk menyingkirkan kafein dari bubuk teh hijau melalui proses blancing gelombang mikro yang bertujuan untuk mengianaktifkan enzim polifenol oksidase dan hidroperoksidase serta mengekstrak kafein sebagai produk nutrasetikal,” ujar Endy.
Endy juga menjelaskan bahwa inkorporasi bubuk teh hijau dalam produk pangan dan nutrasetikal terbatas oleh rasa pahit polifenol dan proses epimerisasi pada suhu tinggi dengan pH basa, yang dapat menurunkan aktivitas polifenol. Selain itu, karakteristik polifenol yang memiliki kestabilan dan bioavailabilitas rendah juga menjadi kendala. Polifenol teh hijau stabil dalam kondisi asam tetapi cepat terdegradasi dalam tubuh, khususnya di saluran pencernaan, dengan hanya sekitar 5,3% polifenol yang dapat diserap dari sistem pencernaan.
Untuk meningkatkan stabilitas dan bioavailabilitas polifenol teh hijau bebas kafein, Endy menjelaskan penggunaan teknik nanoenkapsulasi. Nanoenkapsulasi senyawa aktif dapat meningkatkan stabilitas fisik senyawa dalam tubuh dengan melindunginya dari interaksi dengan komponen-komponen pencernaan dan degradasi awal.
“Efisiensi senyawa berukuran nano dinyatakan 15-250 kali lipat lebih besar daripada senyawa yang memiliki ukuran lebih besar,” ujar Endy. “Partikel nano juga mampu memperlambat waktu sirkulasi, dapat digunakan untuk meningkatkan konsentrasi senyawa aktif pada matriks pangan (food matrices) serta mampu mencegah interaksinya dengan food ingredient yang lain.”
Endy juga menyatakan bahwa pengembangan aplikasi proses nanoenkapsulasi polifenol teh hijau dengan menggunakan biopolimer liposom yang dimodifikasi dengan kolagen sangat prospektif. Kelebihan liposom adalah kemampuannya untuk membawa senyawa aktif yang bersifat lipofilik maupun hidrofilik, serta kemiripannya dengan membran sel alami.
Nanoenkulapsulasi menggunakan sistem liposom juga dilaporkan dapat mencapai efisiensi enkapsulasi lebih dari 70% dan yield sekitar 80%, serta mampu menjaga kestabilan polifenol terhadap agregasi dan oksidasi pada suhu hingga50°C. Selain itu, biopolimer liposom yang dimodifikasi dengan kolagen terbukti dapat melindungi senyawa bioaktif dari resistensi kimia dan fisik, meningkatkan ketersediaan hayati, menghasilkan produk dengan kestabilan tinggi, serta memberikan peluang untuk pengendalian pelepasan senyawa inti ke target yang diinginkan
Modifikasi kolagen ini terinspirasi oleh sifat licin pada belut, sehingga berpotensi untuk digunakan dalam sistem penghantaran. Kolagen adalah protein struktural utama yang ada pada jaringan ikat, seperti kulit, tulang, dan tendon. Kolagen memiliki karakteristik khas yang memungkinkan pembentukan jaringan serat kuat dan fleksibel, yang memberikan dukungan struktural bagi jaringan tubuh. Kolagen bisa dimanfaatkan sebagai liposom untuk penghantaran nano karena sifat hidrofiliknya yang memungkinkan interaksi dengan senyawa aktif hidrofilik, membentuk membran cair emulsi nano liposom.
Lebih lanjut, kemampuan kolagen untuk membentuk lapisan membran dapat menstabilkan senyawa aktif dalam nano liposom, sehingga memperpanjang waktu paruh dengan melindungi senyawa tersebut dari kerusakan sebelum mencapai targetnya. Oleh karena itu, penggunaan kolagen sebagai bahan dasar pembuatan nano delivery liposom berfungsi untuk memastikan pengantaran senyawa polifenol dari teh hijau lebih efektif dan tepat sasaran pada sel-sel tubuh yang membutuhkan
”Hasil riset ini semoga bisa bermanfaat untuk masyarakat yang mengkonsumsi makanan atau minuman substitusi sebagai imbangan diet kaya lemak dan kolesterol,” pungkas Endy.